Rabu, 27 Agustus 2008

Nasionalisme Sebagai Spiritualitas Bangsa*



1. Pembuka Wacana
Di usia yang ke 63 Tahun kemerdekaan RI, ternyata masih banyak yang menyiakan persoalan kebangsaan yang membutuhkan penyelesaian. Bukankah membangun semangat kebangsaan adalah sesuatu yang menjadi icon agar bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan akibat degradasi di berbagai sektor yang bermuara pada krisis nasional sejak 1998. Melalui momentum hari lahirnya Republik Indonesia, perlu dibangkitkan dan dipulihkan kembali spritualitas nasionalisme di tangan Ibu Pertiwi.
Bagi sebagian kalangan, nasionalisme hanya dimaknai sebatas formalitas dengan merah putih, menghias lingkungan dan mengadakan perayaan Dirgahayu 17 Agustus dan bentuk-bentuk seremoni lainnya. Namun ada yang lebih penting dari semua itu, yaitu meletakan nasionalisme sebagai spiritualitas berbangsa. Dan bagaimana agar nilai-nilai dasar nasionalisme yang telah dirumuskan oleh pendiri negeri ini bisa diimplementasi dalam tata kebangsaan dan sistem negara. Kita semua berharap, dengan meletakan kembali nasionalisme sebagai spiritualitas bangsa, maka menjadikan berbagai problem kebangsaan bisa diselesaikan dengan hatinurani.
Dalam pembukaan UUD 45 menyebutkan, bahwa lahirnya negara bangsa Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan ikut dalam ketertiban dunia dengan prinsip perdamaian, keadilan dan kesejahteraan bersama. Ke-empat hal ini merupakan bukti nyata, bahwa bangsa Indonesia telah meletakan bingkai nasionalisme, bukan hanya sekedar tekad untuk mengusir penjajah, tetapi lebih dari itu, yaitu membangun kehidupan bangsa yang adil dan sejahtera.
Hal tersebut di atas, searah dengan pemikiran Bung Karno, bahwa nasionalisme Indonesia didasari oleh dua hal, yaitu sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Sosio nasionaliisme berarti bahwa nasionalisme kita lahir karena kesamaan nasib atas realitas kemiskinan dan penderitaan akibat dari kejahatan struktur dan sistem kolonialisme dan imperialisme. Melalui persamaan ini, seluruh rakyat yang bersatu ke dalam bingkai ke-Indonesiaan yang menyatu dalam satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa, menyatakan satu tekad untuk melawan segala bentuk penindasan kolonialisme dan imperalisme dengan perjuangan mencapai kemerdekaan.
Sosio Demokrasi yaitu, suatu ajaran yang menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia hanya dapat dijalankan melalui proses demokrasi. Demokrasi yang di maknai bukan hanya demokrasi politik, yang hanya menjamin hak-hak politik warga negara, tetapi lebih dari itu, demokrasi yang juga menjamin hak-hak sosial, budaya dan ekonomi warga negara, seperti kesehatan, perumahan, pendidikan, menghargai budaya lokal dan hak atas pekerjaan yang layak.
Kedua gagasan tersebut, kemudian oleh Bung Karno dijabarkan kembali dalam ajarannya, yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai spritualitas nasionalisme atau Tri Sakti, yang berfungsi sebagai nilai dasar untuk mencapai cita-cita nasionalisme Indonesia, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian keIndonesiaan. Ajaran Bung Karno ini kemudian dijadikan landasan untuk membangun dasar negara Indonesia, yang disebut dengan Pancasila dan UUD ‘45.
Dalam era reformasi saat ini, kita sedang memasuki proses transisi demokrasi, dari demokrasi ala Orde Baru ke demokrasi ala reformasi. Pertanyaannya kemudian, dari mana kita harus mengisi dan memperbaiki degradasi kehidupan bangsa ini? Akibat belum tuntasnya bangsa Indonesia mencapai cita-cita nasionalisme yang telah dimandatkan oleh seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke. Ketidaktuntasan tersebut, ditandai dengan masih adanya kemiskinan, kekerasan yang di lakukan negara seperti korupsi, konflik sosial, gizi buruk, pengangguran, pembalakan hutan, bencana dll, yang sampai hari ini masih menjadi pergumulan bangsa Indonesia.
Dalam peringatan HUT RI kali ini, kita akan mencermati persoalan-persoalan bangsa Indonesia dalam tiga isu utama. Yaitu politik nasional, pluralisme dan ketidakadilan global. Melalui kajian mendalam terhadap tiga isu utama tersebut, momentum HUT RI dapat di jadikan wahana refleksi dalam kerangka memberdayakan kembali aksi-aksi Partai Demokrasi Pembaruan untuk mengembalikan kembali Spritualitas Nasionalisme ke-dalam jiwa para kader dan simpatisan, dalam menjalankan mandat partai.
2. Politik Nasional
Masih banyak agenda reformasi yang belum dijalankan pemerintah, baik yang diamanatkan melalui konstitusi, maupun yang dicetuskan secara moral. Praktek demokrasi yang dijalankan hanya sebatas demokrasi formalitas, asal sekedar tidak menyalahi konstitusi dan mekanisme sistem bernegara, sementara demokrasi yang substansial jauh dari yang diharapkan. Praktek demokrasi, seperti hanya ritual politik dan janji-janji politik, makna demokrasi untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat masih jauh yang diharapkan. Terbukti walaupun ritual pemilu 5 tahunan dan pilkada dapat dijalankan, namun persoalan kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, tingginya angka kematian, rendahnya angka harapan hidup, korupsi, pembalakan hutan, rendahnya harga gabah dari petani dan gaji buruh masih saja terus menjadi persoalan. Sampai saat ini masalah tersebut belum bisa diatasi oleh pemeritntah dan wakil rakyat.
Di periode reformasi saat ini masih terjadi pelanggaran HAM. Penanganan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan lainnya, hanya sebatas komoditas politik atau tarik-ulur politik terhadap perkara kejahatan kemanusiaan, bukan atas standar peradilan. Terbukti pengurusakan tempat ibadah, pelarangan pendirian tempai ibadah, pengusiran warga atas karna isu perbedaan agama, rendahnya upah buruh dan banyaknya para petani yang kehilangan tanah akibat pengusuran masih saja terjadi hingga hari ini.
Berbagai problem nasional hingga kini masih kronis, belum ada penyelesaian yang serius:
a. Penanganan korupsi masih sebatas kelas teri, sementara koruptor kelas kakap masih berkeliaran, entah berdalih ada di luar negeri, belum tertangkap, ataupun berkasnya belum memenuhi standar pemeriksaan. Sekalipun ada sedikit kemajuan seperti KPK sudah membuat aturan seragam khusus untuk tahanan koruptor.

b. Aset negara yang berada di luar negeri, yang dilarikan ke luar negeri, maupun penjualan aset negara yang tidak jelas pertanggungjawabannya, seakan tidak dianggap sebagai problem akut nasional.

c. Para pengusaha yang bermasalah selalu saja diselesaikan dengan di-peties-kan, Ardian Lis pelaku pembalakan liar lepas begitu saja, 6 pengusaha tambang Batu Bara yang tidak membayar royaltinya pada negara tidak segera ditindak. Demikian juga kasus Lumpur Panas Lapindo belum juga tuntas malah menjadi beban negara.

Hak asasi yang menyangkut EKOSOB (ekonomi, sosial dan budaya) seakan sudah dijalankan negara, namun kenyataannya masih banyak praktek yang belum dinikmati secara penuh oleh warga negara, seperti rendahnya upah buruh, pengusuran, konflik tanah adat dengan negara, tidak adanya perlindungan harga terhadap produk-produk petani. Dan masih tingginya angka penyakit menular di Indonesia seperti Filaria, malaria dan Kusta dan TBC. Sekalipun berbagai konvenan dari declaration of humans right sudah diakomodir dalam Undang-undang nasional.
Kenaikan harga BBM yang berkonsekuensi pada semua sektor termasuk krisis listrik nasional, semakin memperkuat problem kemiskinan di Indonesia.
Para pejabat eksekutif dan legislatif 2 tahun terakhir hingga masa pencoblosan Pemilu April 2009, perannya sudah tidak bisa diharapkan secara maksimal.Ini konsekuensi dari KPU yang memberikan masa kampanye yang panjang, akhirnya para eksekutif dan legislatif di tingkat pusat dan daerah, yang nota bene mereka adalah elit-elit Parpol, waktunya hanya memikirkan bagaimana mengatur strategi dan memenangkan parpolnya di Pemilu 2009.
3. Pluralisme

Secara nasional, bangsa ini baru mengakomodir pluralisme dalam pilihan politik, sementara pluralisme keyakinan diakui atau tidak malah dijadikan komoditas politik. Penanganan perbedaan keyakinan banyak diselesaikan secara politis, baik dengan setting ataupun by desigent kelas tinggi, seperti kasus dikeluarkannya SKB 3 menteri (pembekuan aktivitas Ahmadiyah), telah menunjukan bahwa penyelesaian kedua masalah masih sangat politis. Demikian juga kasus STT di Kampung Bulak, Jakarta Timur, sekalipun hanya kasus kecil persoalan dugaan kriminal, tetapi berujung ditutupnya Sekolah Tinggi Teologi. Dari kasus-kasus seperti ini tampak bahwa pemerintah belum memiliki formula dalam mengarifi pluralisme. Padahal pluralisme adalah semangat kemanusiaan, tanpa kesadaran pluralisme bangsa ini tidak akan dewasa.
Penyelesaian masalah dengan mengatasnamakan pemberantasan gerakan separatisme sering kali justru menaifkan kearifan lokal. Perbedaan budaya yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk simbol bendera sering kali diartikan sebagai upaya makar, contoh pengibaran bendera bintang kejora di Kabupaten Jayawijaya, di mana bintang kejora sebagai simbol budaya, tetapi oleh pemerintah dianggap sebagai simbol separatisme yang harus ditumpas.
.
4. Ketidakadilan Global
Tantangan paling krusial secara global adalah kejahatan transnasional yang dilakukan secara sistematis oleh negara adidaya. Penggempuran atas nama HAM dan Demokrasi masih saja dilakukan oleh negara dunia pertama atas negara berkembang, terakhir Rusia telah menggempur Georgia atas kejahatan lintas negara ini negara berkembang terus saja menjadi bulan-bulan negara adidaya atas nama apa saja terutama HAM dan Demokrasi.
Kejahatan tertutup sebenarnya lebih berbahaya dengan WTO, G-8, World bank, IMF dan hegemoni perusahaan transnasional lainnya telah menjadi “Lintah darat” yang kian masa kian kuat. Sekalipun dari Blok Amerika Latin sudah memuculkan geliatnya, namun peran-peran ekonomi negara Amerika Latin di tingkat global tidak signifikan, namun sebagai perlawanan ideologis sudah merupakan hal positif.
Krisis energi dan pangan dunia saat ini bukan saja mengkwatirkan negara berkembang sebagai korban, lebih dari itu, persoalan energi dan pangan menjadi ajang untuk pertarungan global, bila di era perang dingin ajang pertarungan global pada pangsa pasar persejataan, maka untuk era sekarang, siapa yang mampu merebut sumber pangan dan sumber-sumber energi dialah yang akan memenangkan pertarungan. Maka wajar ketika negara di Asia juga ikut memainkan peranannya terutama pada isu pangan, namun untuk satu dasawarsa (10 tahun) ke depan energi masih primadona di tingkat pasar dunia, sekalipun energi alternatif nonfosil terus dicetuskan, tapi secara global hanya mampu berkontribusi 0,005 % (masih sangat kecil sekali). Karena itu wajar wilayah Timur Tengah yang merupakan gudang energi fosil (minyak bumi) masih terus menjadi ajang perebutan global, baik pada ladang minyaknya langsung, maupun jalur pemasaran minyak dunia seperti di kawasan teluk.


Rekomendasi kedepan
Berangkat dari persoalan di atas, maka sangat penting dilakukan upaya untuk mengembalikan nasionalisme sebagai spritualitas bangsa. Melalui nasionalisme maka, persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi melalui:

Demokrasi harus dimaknai secara subtantif, bukan prosedural. Demokrasi politik tanpa berdampak pada kehidupan kesejahteraan rakyat, maka demokrasi hanya akan melahirkan kebebasan tetapi membiarkan kemiskinan. Oleh karena itu, upaya pendidikan politik warga harus terus dilakukan, sehingga kedaulatan poltik rakyat tidak hanya dimanifestasikan sebagai ikut serta dalam pemilu, tetapi juga dalam mengontrol terhadap para pengelola negara pasca pemilu dan pilkada.
Anggaran negara harus diperuntukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Penyalahgunaan uang negara harus dihukum berat, dan tidak boleh tebang pilih. Penyelesaian kasus korupsi harus didasari oleh semangat nasionalisme, bukan hanya untuk kepentingan pemenang pemilu. Dengan demikian kontrol terhadap pengelolaan dana negara tidak hanya dibebankan oleh KPK tetapi juga oleh seluruh komponen bangsa.
Secara nasional untuk mengatasi ketidakadilan global yang berakibat pada krisis energi dan pangan dunia. Maka yang paling penting dilakukan negara, yaitu: (1) Berdaulat secara pangan, menghentikan impor pangan dari negara luar, meninggalkan tradisi pangan berbasis gandum, beralih pada sumber pangan yang tersedia di nusantara, sebab tanaman memang tidak cocok untuk negara tropis; (2) Aset minyak bumi, energi bumi, dan bahan bakar lain bersumber dari bumi seperti batu bara, sepenuhnya dikelola oleh negara, bukan dijalankan oleh perusahaan asing; (3) Menjadikan sumber minyak bumi yang melimpah sebagai daya tawar, bukan malah hanya meminta royalti dari pengelolaan asing.
Bila akan memaknai nasionalisme sebagai spiritualitas berbangsa, maka harus meletakan pluralisme sebagai salah satu dari isi nasionalisme. Tanpa semangat menghargai, memberi ruang dan membuka kesempatan seluas-luasnya atas ekspresi perbedaan, maka kesadaran pluralitas belum dapat dijalankan. Dalam usaha ini, maka negara harus mampu sebagai pelindung dengan menegakkan hukum dan HAM dalam menyelesaian konflik pluralisme, bukan hanya pertimbangan politis semata.

Bagi para kader terbaik partai yang akan mencalonkan diri dalam PEMILU Legislatif 2009 ini, saya sebagai pribadi maupun Barisan Merah Putih PDP mengucapkan selamat atas kesediaan kolega Pembaruan menanggung amanat penderitaan rakyat di daerah pemilihan saudara masing-masing. Semoga amanat ini dapat kita pertanggungjawabkan kepada rakyat jika kita terpilih nanti. Merdeka !!!

Karen Ezana,SE.,MM, Ketua Bidang Penggalangan Potensi Dewan Kordinasi Nasional Barisan Merah Putih (BMP) PDP

0 komentar:

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com